|
Bulan pernama yang indah menggantung di angkasa.
Sejuta bintang bertaburan menghias langit. Suara debur ombak menghantam cadas
di bawah sana terdengar berirama. Angin malam perlahan menyusup menyisakan
kesunyian.
Kami belum angkat suara sama sekali. Alisya masih
tengah membujuk hatinya agar bisa berdamai setidaknya hingga pertemuan malam
itu selesai. Disekanya pelipisnya yang tidak berkeringat itu. Jemarinya sedikit
gemetar memainkan sendok garpu. Dia gugup dan tidak tahu harus mulai bicara
apa. Di seberang meja, aku menatap ke lautan yang kosong sejauh mata memandang.
Sesekali tampak kerlap-kerlip lampu kapal atau entahlah itu dari kejauhan. Aku
menghela napas perlahan.
“Maafkan aku Alisya.” Ucapku sambil tertunduk.
Berusaha memutus suasana canggung sepuluh menit terakhir.
Alisya mengangkat kepalanya. Aku menatap
wajahnya lamat-lamat. Suasana hening kembali.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua sudah berlalu.”
Hening lagi.
“Apa kau baik-baik saja?” Tanyaku perlahan.
Alisya diam sejenak dan mengangguk. “Jauh lebih baik
dibanding hari itu.”
Aku menelan ludah. Pahit yang semakin getir seakan
tersekat di kerongkonganku. Aku mendongak menatap purnama. Berusaha mengusir
sesak yang tiba-tiba menyelimuti hati. Pedih sekali rasa penyelasan itu.
*****
Setengah tahun silam. Di tempat yang sama.
Belum ada kesedihan di sana. Alisya dengan wajah yang
berbinar menatapnya. Lihatlah, sekarang ada dua purnama di malam itu. Aku
bahkan tidak bisa membedakan keduanya. Purnama di wajah Alisya dan sepotong
purnama di atas langit sana.
“Aku siap menunggu hingga kau kembali.” Tersenyum,
“Hanya ini yang bisa kuberikan.” Dia mengeluarkan sebuah kotak. Isinya sebuah
syal berwarna biru, “Aku tahu disana akan musim dingin, jadi kubuatkan ini
untukmu.” Kali ini dia tersenyum lebih lebar.
Oh, Tuhan. Bagaimana mungkin aku tega menyakiti gadis
yang begitu tulus ini. Senyumnya saja membuatku tak bisa berpaling. Aku tersenyum dengan amat
dipaksakan.
“Aku.... , aku minta maaf, Cha.” Kalimatku terhenti.
Aku menunduk.
“Hei, Arif. Sejak kapan kau menjadi cengeng. Aku tidak
mengapa jika kau tinggalkan untuk sementara. Ini semua untuk kebaikan kita juga
nantinya. Aku rela menunggumu. Bahkan, hingga seribu tahun lagi pun aku rela. ”
Dia tertawa, tapi aku tahu itu tulus.
“Bukan.... , bukan hanya tentang kepergianku ke
Inggris. Tetapi, aku benar-benar harus pergi....., darimu.”
Alisya tertawa getir. Menggeleng. Dia masih tidak
percaya dan menganggapku bercanda.
“Arif, kamu memang akan pergi, tapi bukan untuk
benar-benar pergi dariku. Benar kan, Rif?” Kali ini mata Alisya mulai
berkaca-kaca. Sinar purnama di wajahnya perlahan meredup.
“Aku minta maaf, Sya. Orang tuaku ternyata jauh hari
sudah menjodohkanku dengan Putri. Aku tidak bisa menentang semua itu.
Keluargaku sudah banyak berhutang budi dengan keluarganya.”
Alisya menyeka ujung matanya. Wajahnya sendu.
“Ah iya, Putri, sahabat kecilmu itu ya. Dia sangat
cantik persis seperti putri. Dia punya segalanya. Bahkan, kini dia juga akan
memiliki hatimu. Sungguh, beruntung sekali. Dia memang pantas bersanding
denganmu.” Alisya kembali tersenyum, berusaha membesarkan hatinya.
“Bukan, Sya. Bukan begitu. Sekalipun aku dengannya,
hatiku akan selalu untukmu, Sya. Maafkan aku.” Bersusah payah aku menyusun
kalimatku.
“Jangan, Rif. Jangan pernah kau lakukan itu. Aku akan
terluka jika kau melakukannya. Jika memang kau akan pergi bersamanya, aku tidak
mengapa. Kau akan mencintainya dan melupakanku.” Alisya tersenyum kembali.
Berusaha menjawab bijak. Tapi aku tahu dia bohong, pura-pura bijaksana.
“Sungguh, maafkan aku, Sya.” Hening lagi sejenak.
Debur ombak semakin kencang menghantam cadas
memecah kesunyian. Semilir angin menelisik pepohonan. Gemerisik teratur bagai
nyanyian kesedihan. Tanpa mendengar nama Putri pun, kabar perjodohan itu saja meruntuhkan
pertahanan hati Alisya yang terakhir. Tidak pernah dipersiapkannya kemungkinan
ini. Dibujuknya hati yang diiris paksa oleh belati tajam. Dia berusaha tegar.
Menangis tertahan.
“Aku tidak apa-apa, sungguh. Mungkin kita memang tidak
berjodoh.”
Alisya pergi malam itu. Tanpa kusadari, Alisya
menangis sepanjang malam. Purnama bermuram durja, menjadi saksi betapa pedih
rasanya patah hati.
*****
Malam itu purnama ketujuh. Aku tahu Alisya suka sekali
bulan purnama. Empat hari sebelumnya, aku menghubunginya untuk bertemu setelah
setengah tahun aku menghilang tanpa kabar. Sungguh tidak tahu malu.
Aku menghela napas perlahan. Aku tidak ingin
membayangkan hari-hari sulit yang telah dilaluinya pasca hari itu.
“Apa kau baik-baik saja selama ini?” Aku bertanya
perlahan.
“Aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu kau
khawatirkan.” Alisya tersenyum cerah. Sama cerahnya setengah tahun yang lalu.
Senyum yang susah payah dibangunnya beberapa bulan terakhir. Kenyataan yang
menambah sesak yang semakin dalam.
“Sya, aku benar-benar minta maaf. Aku benar-benar
tidak berdaya kala itu. Bodoh sekali.” Aku kembali terdiam. Mengusap wajah yang
kebas.
“Sudahlah. Aku tidak menyalahkanmu. Juga tidak orang
tuamu. Aku memang sempat mengalami minggu-minggu menyedihkan. Aku tidak pernah
baik-baik saja. Lima bulan berlalu. Aku berusaha melupakanmu, meski bayanganmu
selalu menghantuiku setiap waktu. Aku patah hati. Aku merasa dirikulah orang
yang paling menyedihkan di dunia ini dan layak untuk dikasihani.”
“ Maafkan aku.” Suaraku semakin berat. Mataku
berkaca-kaca. Jika saja tidak ingat bahwa aku adalah laki-laki, maka akan
segera kutumpahkan tangisku di hadapannya.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan.” Alisya tersenyum
tulus menatapku, “Kau tahu, di tengah semua kepedihan itu, aku mengerti tentang
pengharapan yang tidak boleh berlebihan. Bagaimana bisa pungguk merindukan
purnama. Setidaknya aku belajar memahami bahwa cinta tidak harus selalu
memiliki. Aku memang kehilangan separuh hatiku, tetapi bukan berarti aku
harus kehilangan hidupku. Aku masih punya separuh hati yang lain yang
mungkin di perjalanan akan kutemui penggantinya kembali. Aku akan mengobatinya.
Meski perlahan.”
Hening lagi sejenak.
Aku mengangkat wajahku.
“Sya, akankah masih ada kesempatan lagi untukku?” Aku
bertanya pelan, lalu menggigit bibir.
Aku ceritakan padanya bahwa perjodohan itu gagal
sebulan setelah malam pertemuan terakhirku dengan Alisya . Putri sebenarnya
juga tidak mencintaiku. Dia hanya menganggapku sahabatnya. Dia pun tidak
menyetujui perjodohan itu. Dia sudah memiliki pilihan hatinya sendiri. Aku
ingin bergegas menemui Alisya, tetapi saat itu aku belum bisa kembali dari
Inggris. Aku mencoba menghubungi lewat seluler, media sosial, dan email. Gagal.
Semuanya gagal. Tidak ada respon dan sudah dinon-aktifkan. Beberapa hari yang
lalu, aku libur. Aku kembali ke Indonesia dan segera mencari Alisya ke
rumahnya. Sia-sia. Aku tidak menemukan Alisya. Alisya sudah pindah dari dua
bulan yang lalu. Beruntung aku bertemu sahabat Alisya dan memberikanku nomor teleponnya
sehingga dia bisa berada di hadapanku sekarang.
“Aku memang pindah. Bukan semata-mata untuk
melupakanmu. Ibuku mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Tentang media sosial
aku juga memang menonaktifkannya. Aku ingin melupakanmu dan semuanya. ”
“Lantas, apakah tidak ada kesempatan lagi
untukku,Sya?” Aku kembali bertanya perlahan dan sedikit cemas.
Alisya menggeleng. “Kau tahu, setelah pindah ke tempat
yang baru, aku mulai menyadari bahwa bukan hanya tempat tinggalku yang baru,
hatiku pun harus baru. Menghapus kenangan dan luka lama. Menata kehidupan yang
baru. Menggapai mimpi-mimpi bersama orang-orang baru.”
“Apakah di hati yang baru itu ada namaku yang
tersisa?” Aku memberanikan diri menatap wajahnya. Berharap cemas akan
jawaban yang diberikannya.
“Maafkan aku, Arif. Setelah sebulan di tempatku yang
baru, aku menemukan seorang yang kurasa bisa melengkapi sebagian hatiku yang
tidak utuh lagi. Meskipun aku belum bisa mencintainya sepenuhnya, tetapi aku
yakin dia bisa memberikan separuh hati yang lain untukku. Aku sudah menikah.”
Aku mematung. Apalagi yang kuharapkan. Alisya sudah
menjadi milik orang lain. Aku semakin tertikam penyesalan yang semakin dalam.
Seharusnya aku malu untuk kembali lagi setelah peristiwa itu. Tetapi,
setidaknya aku sudah mencoba. Malam itu sungguh terasa menyesakkan.
“Semoga kau bahagia, Sya.”
“Aku bahagia, Rif. Semoga kau juga bahagia. Maaf, aku
harus segera pergi.” Gadis itu beringsut dari tempat duduknya, beranjak pergi
meninggalkanku. Aku menatap punggungnya hingga hilang dari balik pintu.
Mengapa penyesalan selalu datang belakangan. Lihatlah
sekarang, Alisya sudah bahagia dan aku dengan tanpa dosa ingin merusak
kebahagiaan itu dengan memintanya kembali. Aku kembali menatap purnama dan
berharap belas kasihnya. Akan tetapi, cahaya purnama malam ini seperti tidak
memihakku. Redup dan sendu. Agaknya dia pun tahu apa yang telah Alisya alami
selepas kepergianku. Aku menghela napas perlahan.
*****
Satu jam setelah kepergian Alisya.
Tiba-tiba ada panggilan masuk. Dari nomor Alisya.
Terdengar suara perempuan di seberang sana, tetapi bukan suara Alisya.
“Halo, apa benar ini Nak Arif?” suaranya berat dan
terdengar habis menangis.
“Iya bu. Dengan saya sendiri. Maaf, dengan siapa?”
“Ini saya, Bu Indah, Ibunya Alisya. Alisya tiga puluh
menit yang lalu kecelakaan dan berada di rumah sakit sekarang.”
Bak petir di tengah purnama. Hatiku tersengat listrik
ratusan voltmeter.
“Saya segera kesana, Buk.”
Aku bergegas mengambil kunci mobil dan mengendarainya
ke rumah sakit.
Sekitar dua puluh menit aku baru tiba di rumah sakit.
Alisya di rawat di UGD dan sudah ada Bu Indah yang kini semakin terisak melihat
kedatanganku.
“Nak, Alisya sudah tiada. Begitu banyak pendarahan di
otaknya sehingga dokter tidak bisa menolongnya. Sejak masa kritis dia terus
menyebut namamu.” Tangis Bu Indah pecah.
Aku terduduk, tak berdaya. Kaki-kakiku kehilangan
tumpuannya. Bagaimana bisa, baru satu setengah jam lalu dia tersenyum di
hadapanku dan ternyata itu adalah senyum terakhirnya. Oh, Tuhan. Aku menangis
dalam diam. Masih belum percaya.
“Nak, ini buku catatan Alisya yang Ibu temukan di
tasnya.Agaknya ada yang ingin disampaikannya sebelum pergi.” Bu indah
menyadarkanku.
Tanganku gemetar menerima buku catatan itu. Bukan
hanya catatan, tetapi ada syal biru yang dulu hendak diberikannya padaku,
tetapi kutolak. Dia ternyata membawanya. Tangisku pecah tak tertahan.
*****
Di keheningan malam. Kubuka diary itu perlahan.
Cinta.
Mengapa cintaku harus berakhir luka.
Setelah yakinku tentang bahagia di akhir cerita.
Kini, dia tega merobohkan harapanku begitu saja.
Sirna sudah semuanya.
Aku nelangsa.
Karena cinta.
(Februari,2016. Purnama kedua)
Oh, purnama. Mengapa sakit ini tak kunjung reda.
Mengapa rindu ini tak kunjung sirna.
Senyumnya masih saja menggoda jiwa.
Meski telah usai semua cerita.
Tidakkah kau kasihan melihatku dirundung
nestapa.
Oh, purnama. Aku rindu kerlingan matanya.
(Maret, 2016. Purnama ketiga)
Patah hati memang sakti.
Memaksaku bersimpuh meratapi diri.
Haruskah selama ini,
sementara waktu terus berlari
Aku masih saja belum bisa membuka hati
Separuh hatiku telah pergi
Meski tidak
kumiliki tapi aku tak menyesal pernah jatuh hati.
(April,
2016. Purnama keempat)
Aku pergi
Pergi mencari kedamaian hati
Aku putuskan berdamai dengan semua ini
Takkan kusesali lagi
Meski perih membohongi diri
Setidaknya aku mencoba kembali merangkai mimpi
Meski susah, bahkan mungkin tertatih
Akan kubujuk hati ini, sepenuh hati
(Mei, 2016. Purnama kelima)
Siapa yang terus-terusan bisa bersembunyi
Takkan mampu kau membohongi diri
Aku belum bisa, sungguh masih nyata
Bayanganmu yang terus berkelebat di pelupuk mata
Mimpi itu hadir lagi
Aku bermimpi kau sedang tengah mencai-cari
Mencariku?
Ah, mana mungkin. Aku terlalu bermimpi, membunuh
diriku sendiri.
(Juni,2016. Purnama keenam)
Kini mimpi itu telah nyata
Aku bertemu kembali denganmu yang selalu kupuja
Bahagiaku tak terkira,
Sungguh, ingin rasanya kukabarkan ke seluruh dunia
Bahwa telah kembalinya sang belahan jiwa
Tapi, entah mengapa
Seketika egoku menghancurkan semuanya
Aku berbohong padamu dengan lisan yang seolah tanpa
dosa
Sempurna sudah semua drama
Sejatinya aku membiarkan luka itu kembali menganga
Aku menipu diri
Sungguh, aku ingin dimilikimu sekali lagi
Maafkan aku telah membohongi diri....
(Juli 2016, purnama ketujuh)
Purnama ketujuh menjadi saksi. Janji setia Alisya
untuk menunggu bahkan hingga seribu tahun lagi terbukti. Dia memang tak pernah
mencari pengganti. Arif selalu hidup dalam mimpinya, meski tak pernah bisa
dimilikinya di dunia. Saat itu langit mendadak terang-benderang dengan
seterang-terangnya cahaya. Agaknya purnama malam ini dua kali lipat cahayanya
dari pada purnama biasanya. Alisya kembali. Kembali menjadi purnama yang abadi.
Dipeluk langit dan bintang-gemintang. Penantiannya yang tulus meski luka itu
kini telah didekapnya erat-erat. Hati itu memang tersakiti, tetapi dia tidak
pernah membenci. Sementara aku tertunduk lesu, tak berdaya. Menatap purnama pun
aku malu. Angin malam berhembus perlahan. Tubuhku terasa membeku. Purnamaku
hilang dalam keheningan malam. Kini aku merasakan apa yang pernah Alisya derita
dulu. Berkali-kali lipat malah. Jika dulu Alisya hanya kehilangan ragaku, kini
aku kehilangan jiwa dan raganya untuk selama-lamanya. Kini aku tahu bagaimana
rasanya hati yang dulu dicabik-cabik paksa, meski aku tidak dikhianati seperti
dulu yang kulakukan padanya. Perih diiris sembilu. Belati tajam yang
mengoyak-ngoyaknya tanpa permisi. Tangisku tertahan. Kemana akan kucari purnama
serupanya. Malam semakin larut. Kesedihanku yang tak bertepi.
*****
*ditulis oleh Nesty Alisa
*sumber foto : techno.okezone.com
Komentar
Posting Komentar