Langsung ke konten utama

Cerpen: Purnama Ketujuh




Hasil gambar untuk purnama
Bulan pernama yang indah menggantung di angkasa. Sejuta bintang bertaburan menghias langit. Suara debur ombak menghantam cadas di bawah sana terdengar berirama. Angin malam perlahan menyusup menyisakan kesunyian.
Kami belum angkat suara sama sekali. Alisya masih tengah membujuk hatinya agar bisa berdamai setidaknya hingga pertemuan malam itu selesai. Disekanya pelipisnya yang tidak berkeringat itu. Jemarinya sedikit gemetar memainkan sendok garpu. Dia gugup dan tidak tahu harus mulai bicara apa. Di seberang meja, aku menatap ke lautan yang kosong sejauh mata memandang. Sesekali tampak kerlap-kerlip lampu kapal atau entahlah itu dari kejauhan. Aku menghela napas perlahan.

“Maafkan aku Alisya.” Ucapku sambil tertunduk. Berusaha memutus suasana canggung sepuluh menit terakhir.
 Alisya mengangkat kepalanya. Aku menatap wajahnya lamat-lamat. Suasana hening kembali.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua sudah berlalu.” Hening lagi.
 “Apa kau baik-baik saja?” Tanyaku perlahan.
Alisya diam sejenak dan mengangguk. “Jauh lebih baik dibanding hari itu.”

Aku menelan ludah. Pahit yang semakin getir seakan tersekat di kerongkonganku. Aku mendongak menatap purnama. Berusaha mengusir sesak yang tiba-tiba menyelimuti hati. Pedih sekali rasa penyelasan itu.

*****

Setengah tahun silam. Di tempat yang sama.
Belum ada kesedihan di sana. Alisya dengan wajah yang berbinar menatapnya. Lihatlah, sekarang ada dua purnama di malam itu. Aku bahkan tidak bisa membedakan keduanya. Purnama di wajah Alisya dan sepotong purnama di atas langit sana.

“Aku siap menunggu hingga kau kembali.” Tersenyum, “Hanya ini yang bisa kuberikan.” Dia mengeluarkan sebuah kotak. Isinya sebuah syal berwarna biru, “Aku tahu disana akan musim dingin, jadi kubuatkan ini untukmu.” Kali ini dia tersenyum lebih lebar.

Oh, Tuhan. Bagaimana mungkin aku tega menyakiti gadis yang begitu tulus ini. Senyumnya saja membuatku tak bisa berpaling. Aku tersenyum dengan amat dipaksakan.
“Aku.... , aku minta maaf, Cha.” Kalimatku terhenti. Aku menunduk.
“Hei, Arif. Sejak kapan kau menjadi cengeng. Aku tidak mengapa jika kau tinggalkan untuk sementara. Ini semua untuk kebaikan kita juga nantinya. Aku rela menunggumu. Bahkan, hingga seribu tahun lagi pun aku rela. ” Dia tertawa, tapi aku tahu itu tulus.
“Bukan.... , bukan hanya tentang kepergianku ke Inggris. Tetapi, aku benar-benar harus pergi....., darimu.”

Alisya tertawa getir. Menggeleng. Dia masih tidak percaya dan menganggapku bercanda.

“Arif, kamu memang akan pergi, tapi bukan untuk benar-benar pergi dariku. Benar kan, Rif?” Kali ini mata Alisya mulai berkaca-kaca. Sinar purnama di wajahnya perlahan meredup.
“Aku minta maaf, Sya. Orang tuaku ternyata jauh hari sudah menjodohkanku dengan Putri. Aku tidak bisa menentang semua itu. Keluargaku sudah banyak berhutang budi dengan keluarganya.”
Alisya menyeka ujung matanya. Wajahnya sendu.
“Ah iya, Putri, sahabat kecilmu itu ya. Dia sangat cantik persis seperti putri. Dia punya segalanya. Bahkan, kini dia juga akan memiliki hatimu. Sungguh, beruntung sekali. Dia memang pantas bersanding denganmu.” Alisya kembali tersenyum, berusaha membesarkan hatinya.
“Bukan, Sya. Bukan begitu. Sekalipun aku dengannya, hatiku akan selalu untukmu, Sya. Maafkan aku.” Bersusah payah aku menyusun kalimatku.
“Jangan, Rif. Jangan pernah kau lakukan itu. Aku akan terluka jika kau melakukannya. Jika memang kau akan pergi bersamanya, aku tidak mengapa. Kau akan mencintainya dan melupakanku.” Alisya tersenyum kembali. Berusaha menjawab bijak. Tapi aku tahu dia bohong, pura-pura bijaksana.
“Sungguh, maafkan aku, Sya.” Hening lagi sejenak.

Debur ombak  semakin kencang menghantam cadas memecah kesunyian. Semilir angin menelisik pepohonan. Gemerisik teratur bagai nyanyian kesedihan. Tanpa mendengar nama Putri pun, kabar perjodohan itu saja meruntuhkan pertahanan hati Alisya yang terakhir. Tidak pernah dipersiapkannya kemungkinan ini. Dibujuknya hati yang diiris paksa oleh belati tajam. Dia berusaha tegar. Menangis tertahan.
“Aku tidak apa-apa, sungguh. Mungkin kita memang tidak berjodoh.”
Alisya pergi malam itu. Tanpa kusadari,  Alisya menangis sepanjang malam. Purnama bermuram durja, menjadi saksi betapa pedih rasanya patah hati.

*****

Malam itu purnama ketujuh. Aku tahu Alisya suka sekali bulan purnama. Empat hari sebelumnya, aku menghubunginya untuk bertemu setelah setengah tahun aku menghilang tanpa kabar. Sungguh tidak tahu malu.
Aku menghela napas perlahan. Aku tidak ingin membayangkan hari-hari sulit yang telah dilaluinya pasca hari itu.

“Apa kau baik-baik saja selama ini?” Aku bertanya perlahan.
“Aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan.” Alisya tersenyum cerah. Sama cerahnya setengah tahun yang lalu. Senyum yang susah payah dibangunnya beberapa bulan terakhir. Kenyataan yang menambah sesak yang semakin dalam.
“Sya, aku benar-benar minta maaf. Aku benar-benar tidak berdaya kala itu. Bodoh sekali.” Aku kembali terdiam. Mengusap wajah yang kebas.

“Sudahlah. Aku tidak menyalahkanmu. Juga tidak orang tuamu. Aku memang sempat mengalami minggu-minggu menyedihkan. Aku tidak pernah baik-baik saja. Lima bulan berlalu. Aku berusaha melupakanmu, meski bayanganmu selalu menghantuiku setiap waktu. Aku patah hati. Aku merasa dirikulah orang yang paling menyedihkan di dunia ini dan layak untuk dikasihani.”
“ Maafkan aku.” Suaraku semakin berat. Mataku berkaca-kaca. Jika saja tidak ingat bahwa aku adalah laki-laki, maka akan segera kutumpahkan tangisku di hadapannya.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan.” Alisya tersenyum tulus menatapku, “Kau tahu, di tengah semua kepedihan itu, aku mengerti tentang pengharapan yang tidak boleh berlebihan. Bagaimana bisa pungguk merindukan purnama. Setidaknya aku belajar memahami bahwa cinta tidak harus selalu memiliki. Aku memang kehilangan separuh hatiku, tetapi bukan berarti aku harus  kehilangan hidupku. Aku masih punya separuh hati yang lain yang mungkin di perjalanan akan kutemui penggantinya kembali. Aku akan mengobatinya. Meski perlahan.”

Hening lagi sejenak.
Aku mengangkat wajahku.
“Sya, akankah masih ada kesempatan lagi untukku?” Aku bertanya pelan, lalu menggigit bibir.

Aku ceritakan padanya bahwa perjodohan itu gagal sebulan setelah malam pertemuan terakhirku dengan Alisya . Putri sebenarnya juga tidak mencintaiku. Dia hanya menganggapku sahabatnya. Dia pun tidak menyetujui perjodohan itu. Dia sudah memiliki pilihan hatinya sendiri. Aku ingin bergegas menemui Alisya, tetapi saat itu aku belum bisa kembali dari Inggris. Aku mencoba menghubungi lewat seluler, media sosial, dan email. Gagal. Semuanya gagal. Tidak ada respon dan sudah dinon-aktifkan. Beberapa hari yang lalu, aku libur. Aku kembali ke Indonesia dan segera mencari Alisya ke rumahnya. Sia-sia. Aku tidak menemukan Alisya. Alisya sudah pindah dari dua bulan yang lalu. Beruntung aku bertemu sahabat Alisya dan memberikanku nomor teleponnya sehingga dia bisa berada di hadapanku sekarang.

“Aku memang pindah. Bukan semata-mata untuk melupakanmu. Ibuku mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Tentang media sosial aku juga memang menonaktifkannya. Aku ingin melupakanmu dan semuanya. ”
“Lantas, apakah tidak ada kesempatan lagi untukku,Sya?” Aku kembali bertanya perlahan dan sedikit cemas.

Alisya menggeleng. “Kau tahu, setelah pindah ke tempat yang baru, aku mulai menyadari bahwa bukan hanya tempat tinggalku yang baru, hatiku pun harus baru. Menghapus kenangan dan luka lama. Menata kehidupan yang baru. Menggapai mimpi-mimpi bersama orang-orang baru.”
“Apakah di hati yang baru itu ada namaku yang tersisa?” Aku memberanikan diri menatap  wajahnya. Berharap cemas akan jawaban yang diberikannya.
“Maafkan aku, Arif. Setelah sebulan di tempatku yang baru, aku menemukan seorang yang kurasa bisa melengkapi sebagian hatiku yang tidak utuh lagi. Meskipun aku belum bisa mencintainya sepenuhnya, tetapi aku yakin dia bisa memberikan separuh hati yang lain untukku. Aku sudah menikah.”

Aku mematung. Apalagi yang kuharapkan. Alisya sudah menjadi milik orang lain. Aku semakin tertikam penyesalan yang semakin dalam. Seharusnya aku malu untuk kembali lagi setelah peristiwa itu. Tetapi, setidaknya aku sudah mencoba. Malam itu sungguh terasa menyesakkan.
“Semoga kau bahagia, Sya.”
“Aku bahagia, Rif. Semoga kau juga bahagia. Maaf, aku harus segera pergi.” Gadis itu beringsut dari tempat duduknya, beranjak pergi meninggalkanku. Aku menatap punggungnya hingga hilang dari balik pintu.
Mengapa penyesalan selalu datang belakangan. Lihatlah sekarang, Alisya sudah bahagia dan aku dengan tanpa dosa ingin merusak kebahagiaan itu dengan memintanya kembali. Aku kembali menatap purnama dan berharap belas kasihnya. Akan tetapi, cahaya purnama malam ini seperti tidak memihakku. Redup dan sendu. Agaknya dia pun tahu apa yang telah Alisya alami selepas kepergianku. Aku menghela napas perlahan.

*****

Satu jam setelah kepergian Alisya.
Tiba-tiba ada panggilan masuk. Dari nomor Alisya. Terdengar suara perempuan di seberang sana, tetapi bukan suara Alisya.
“Halo, apa benar ini Nak Arif?” suaranya berat dan terdengar habis menangis.
“Iya bu. Dengan saya sendiri. Maaf, dengan siapa?”
“Ini saya, Bu Indah, Ibunya Alisya. Alisya tiga puluh menit yang lalu kecelakaan dan berada di rumah sakit sekarang.”
Bak petir di tengah purnama. Hatiku tersengat listrik ratusan voltmeter.
“Saya segera kesana, Buk.”
Aku bergegas mengambil kunci mobil dan mengendarainya ke rumah sakit.
Sekitar dua puluh menit aku baru tiba di rumah sakit. Alisya di rawat di UGD dan sudah ada Bu Indah yang kini semakin terisak melihat kedatanganku.
“Nak, Alisya sudah tiada. Begitu banyak pendarahan di otaknya sehingga dokter tidak bisa menolongnya. Sejak masa kritis dia terus menyebut namamu.” Tangis Bu Indah pecah.
Aku terduduk, tak berdaya. Kaki-kakiku kehilangan tumpuannya. Bagaimana bisa, baru satu setengah jam lalu dia tersenyum di hadapanku dan ternyata itu adalah senyum terakhirnya. Oh, Tuhan. Aku menangis dalam diam. Masih belum percaya.
“Nak, ini buku catatan Alisya yang Ibu temukan di tasnya.Agaknya ada yang ingin disampaikannya sebelum pergi.” Bu indah menyadarkanku.
Tanganku gemetar menerima buku catatan itu. Bukan hanya catatan, tetapi ada syal biru yang dulu hendak diberikannya padaku, tetapi kutolak. Dia ternyata membawanya. Tangisku pecah tak tertahan.

*****

Di keheningan malam. Kubuka diary itu perlahan.

Cinta.
Mengapa cintaku harus berakhir luka.
Setelah yakinku tentang bahagia di akhir cerita.
Kini, dia tega merobohkan harapanku begitu saja.
Sirna sudah semuanya.
Aku nelangsa.
Karena cinta.
(Februari,2016. Purnama kedua)
Oh, purnama. Mengapa sakit ini tak kunjung reda. 
Mengapa rindu ini tak kunjung sirna.  
Senyumnya masih saja menggoda jiwa. 
Meski telah usai semua cerita. 
Tidakkah kau kasihan melihatku dirundung nestapa. 
Oh, purnama. Aku rindu kerlingan matanya. 
(Maret, 2016. Purnama ketiga)
Patah hati memang sakti.
Memaksaku bersimpuh meratapi diri.
Haruskah selama ini,
sementara waktu terus berlari
Aku masih saja belum bisa membuka hati
Separuh hatiku telah pergi
Meski tidak kumiliki tapi aku tak menyesal pernah jatuh hati.
 (April, 2016. Purnama keempat)

Aku pergi
Pergi mencari kedamaian hati
Aku putuskan berdamai dengan semua ini
Takkan kusesali lagi
Meski perih membohongi diri
Setidaknya aku mencoba kembali merangkai mimpi
Meski susah, bahkan mungkin tertatih
Akan kubujuk hati ini, sepenuh hati
(Mei, 2016. Purnama kelima)
Siapa yang terus-terusan bisa bersembunyi
Takkan mampu kau membohongi diri
Aku belum bisa, sungguh masih nyata
Bayanganmu yang terus berkelebat di pelupuk mata
Mimpi itu hadir lagi
Aku bermimpi kau sedang tengah mencai-cari
Mencariku?
Ah, mana mungkin. Aku terlalu bermimpi, membunuh diriku sendiri.
(Juni,2016. Purnama keenam)

Kini mimpi itu telah nyata
Aku bertemu kembali denganmu yang selalu kupuja
Bahagiaku tak terkira,
Sungguh, ingin rasanya kukabarkan ke seluruh dunia
Bahwa telah kembalinya sang belahan jiwa
Tapi, entah mengapa
Seketika egoku menghancurkan semuanya
Aku berbohong padamu dengan lisan yang seolah tanpa dosa
Sempurna sudah semua drama
Sejatinya aku membiarkan luka itu kembali menganga
Aku menipu diri
Sungguh, aku ingin dimilikimu sekali lagi
Maafkan aku telah membohongi diri....
(Juli 2016, purnama ketujuh)

Purnama ketujuh menjadi saksi. Janji setia Alisya untuk menunggu bahkan hingga seribu tahun lagi terbukti. Dia memang tak pernah mencari pengganti. Arif selalu hidup dalam mimpinya, meski tak pernah bisa dimilikinya di dunia. Saat itu langit mendadak terang-benderang dengan seterang-terangnya cahaya. Agaknya purnama malam ini dua kali lipat cahayanya dari pada purnama biasanya. Alisya kembali. Kembali menjadi purnama yang abadi. Dipeluk langit dan bintang-gemintang. Penantiannya yang tulus meski luka itu kini telah didekapnya erat-erat. Hati itu memang tersakiti, tetapi dia tidak pernah membenci. Sementara aku tertunduk lesu, tak berdaya. Menatap purnama pun aku malu. Angin malam berhembus perlahan. Tubuhku terasa membeku. Purnamaku hilang dalam keheningan malam. Kini aku merasakan apa yang pernah Alisya derita dulu. Berkali-kali lipat malah. Jika dulu Alisya hanya kehilangan ragaku, kini aku kehilangan jiwa dan raganya untuk selama-lamanya. Kini aku tahu bagaimana rasanya hati yang dulu dicabik-cabik paksa, meski aku tidak dikhianati seperti dulu yang kulakukan padanya. Perih diiris sembilu. Belati tajam yang mengoyak-ngoyaknya tanpa permisi. Tangisku tertahan. Kemana akan kucari purnama serupanya. Malam semakin larut. Kesedihanku yang tak bertepi.

 *****

*ditulis oleh Nesty Alisa
*sumber foto : techno.okezone.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ya Allah, Jika Aku Jatuh cinta...

Ya Allah, jika aku jatuh cinta,cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya pada-Mu,agar bertambah kekuatan ku untuk mencintai-Mu. Ya Muhaimin, jika aku jatuh cinta,jagalah cintaku padanya agar tidak melebihi cintaku pada-Mu Ya Allah, jika aku jatuh hati,izinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-Mu,agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta semu. Ya Rabbana, jika aku jatuh hati,jagalah hatiku padanya agar tidak berpaling dari hati-Mu. Ya Rabbul Izzati, jika aku rindu,rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan-Mu. Ya Allah, jika aku rindu,jagalah rinduku padanya agar tidak lalai aku merindukan syurga-Mu. Ya Allah, jika aku menikmati cinta kekasih-Mu,janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhirmu. Ya Allah, jika aku jatuh hati pada kekasih-Mu,jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepada-Mu. Ya Allah, jika Kau halalkan aku merindui kekasi...

Kembali?

Sudah lama tidak mampir kemari. Tahun-tahun belakangan sempat gonta-ganti platform menulis, lalu tiba-tiba rindu kembali ke sini untuk memilih berkawan dengan asing dan hening. Barangkali, di usia yang sudah tidak lagi muda, kita hanya ingin kedamaian. Tidak berarti memutuskan hubungan dengan semua orang, tetapi hanya mengurangi intensitasnya dan menyisakan mereka yang penting saja. Selebihnya? Hanya orang-orang yang akan tercatat sebagai kenangan, lalu perlahan dilupakan.  Barangkali, semakin dewasa kita semakin menyadari bahwa tidak ada yang bertahan selamanya. Adakalanya, kita tidak lagi menempatkan ekspektasi yang tinggi pada sebuah hubungan antarmanusia.  Sederhananya, yang ingin tinggal 'kan kugenggam, yang ingin pergi takkan kutahan. Pada akhirnya, kita hanya akan mempertahankan apa-apa yang memberikan kedamaian, bukan sebaliknya. Maka, semoga kita selalu menemukan apa-apa yang membuat kita damai dalam kebahagiaan, terlebih dalam limpahan cinta-Nya. Juga selalu menemuka...

Kabar Baik

Aku pernah mendengar satu kalimat nasihat yang bilang begini: "Kamu cuma butuh satu kabar baik yang dinanti dari Allah untuk menghapus banyak kepedihan dalam hidup." Sesederhana kamu butuh cahaya matahari usai hujan lebat berhari-hari yang membuat cucianmu tak kering-kering itu. Kamu hanya butuh satu keajaiban untuk berucap syukur tak henti-henti atas segala ketetapan takdir yang dijalani. Pada akhirnya, aku selalu percaya bahwa setiap ketetapan-Nya adalah yang terbaik. Selalu mengantarkanku ke titik yang lebih baik meski harus tertatih dan terpatah jalan yang harus kulalui. Ya Allah, jika aku harus menemui banyak kehilangan lagi, tak apa, asal jangan Engkau yang hilang dari hatiku. Sore yang dingin, 18122024