![]() |
Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta |
Entah karena rindu atau sekedar sebuah pikiran yang
melintas begitu saja.
Jakarta. Aku yang mulanya hanya
mengenal kota ini dari media elektronik yang kerap sekali memberitakan
keruwetan dan kekisruhan yang hadir di dalamnya yang aku sendiri belum
terlalu paham saat itu, diizinkan untuk pertama kalinya menginjakkan
kaki di kota ini pada Agustus 2007 lalu ketika aku baru saja
menduduki kelas 6 SD. Ah, sudah
lama sekali. Aku belum sepenuhnya mengerti tentang kota ini saat itu.
Saat itu yang terlintas di pikiranku yang masih begitu lugu adalah hanya
orang-orang hebat yang akan diberikan kesempatan untuk menginjakkan
kakinya di tanah ini karena semua pejabat tertinggi negara ada di kota ini, begitu pikirku.
Aku
hanya seorang gadis kecil dari desa yang baru
akan mencapai gerbang yang biasa disebut masyarakat awam sebagai remaja.
Belum terlalu banyak bumbu-bumbu kehidupan dan pengalaman yang telah
aku dapatkan sehingga mampu membuat sebuah kesimpulan dini tentang kota
ini walau sudah banyak kusaksikan di televisi tentang kemacetan dan keambaradulan kota ini, tetapi aku tidak sepenuhnya mempercayai itu. Mengapa rumit sekali bahasamu.
Awal
mula menapaki kota ini, malam hari, setelah sebelumnya dihinggapi rasa
takjub karena juga untuk pertama kalinya naik pesawat, kembali
dihinggapi rasa yang tak kalah takjub dari sebelumnya. Jakarta pada
malam hari begitu indah dan megah. Gedung-gedung yang menjulang tinggi.
Lampu-lampu jalanan yang begitu semarak menyinari, hal yang tentu amat
jarang kutemui di desaku tentu saja. Lalu lalang sibuk kendaraan.
Aktivitas kota yang seolah tak kunjung usai meski malam sudah menyapa.
Meski pada akhirnya segala ketakjuban itu kalah oleh rasa lelah
perjalanan yang akhirnya mengundangku untuk segera beralih ke dunia
mimpi yang lebih seru. Seru? Mana mungkin kau bisa bermimpi di tengah kemacetan. Haha.
Aku
baru terbangun ketika taksi mulai memasuki halaman Asrama Haji Pondok
Gede yang akan kami tinggali bersama teman-teman yang lain dalam
beberapa pekan ke depan, tempat yang sampai saat ini masih kurindukan.
Dalam beberapa pekan itu pula, aku tidak menemui keruwetan kota Jakarta, kecuali satu : makanannya. Haha. Saat
itu, aku pikir selera orang Jakarta (maaf) benar-benar buruk. Apapun
yang kumakan selagi itu adalah dimasak langsung oleh panitia , tidak ada
enak-enaknya. Dari sambal yang tidak ada unsur pedas dan cenderung
manis itu. Sup yang seperti tidak ada garamnya. Lama-lama aku bosan dan
seringkali mengajak Ayah makan di luar. Saat itu pulalah aku mulai tidak
terlalu suka makan pisang. Apa hubungannya? Begini ceritanya.
Kami setiap pagi sarapan di asrama yang memang sudah disiapkan oleh
panitia. Siangnya kami akan disuguhi nasi kotak. Aku yang lama-kelamaan
terlanjur bosan dengan makanan yang itu-itu saja -semoga Allah mengampuniku karena telah mencela makanan- siang itu disuguhi nasi kotak, tetapi biasanya nasi kotak ini cenderung lebih baik dibandingkan sarapan di pagi hari karena ada rasanya. Maklumi saja saja sebagai anak Sumatra yang punya lidah banyak rasa. Lu kira nano-nano, rame rasanya. Maksudku cenderung punya cita rasa. Ah, apalagi ini maksudnya, pokoknya itulah maksudku. Nasi kotak itu memiliki buah pelengkap yakni pisang. Karena sudah terlalu lama di dalam kotak, mungkin sudah dipersiapkan dari tadi pagi,
pisang itu menimbulkan bau yang khas dan tidak aku sukai. Seketika
selera makanku hilang. Sejak saat itulah, aku jarang bahkan hampir tidak
pernah lagi makan pisang.
Alih-alih
tentang buah pisang, kita kembali ke laptop. Aku belum menemukan
kejanggalan apapun di kota ini. Aku tidak menemui kemacetan yang begitu
memilukan karena memang pagi-pagi sudah berangkat ke GOR Ragunan. Pun
tidak kutemui debu-debu yang beterbangan. Polusi dan panas dimana-mana
karena memang seharian kami di GOR. Haha. Ketika sore menjelang senja,kami sudah kembali ke asrama dan tidak menemui kemacetan yang berarti.
Selama
beberapa pekan di Jakarta, hanya Monumen Pancasila Sakti, Taman
Margasatwa Ragunan, dan Ancol yang pernah kukunjungi karena kami memang
tidak punya waktu untuk jalan-jalan. Juga daerah Depok yang sempat
kejejali, meski hanya setengah hari dikarenakan harus kembali ke asrama
siangnya untuk menjalani pemeriksaan kesehatan. Sesuatu yang aku sesali hingga saat ini. Haha. Seharusnya aku tidak perlu kembali ke asrama dan tetap menjelajahi Depok bersama Adriansyah, Nadhilla dan adiknya (Apa kabar mereka sekarang, ya?) karena memang ternyata tidak begitu urgen.
Penilaianku tentang Jakarta hingga saat ini pun masih anteng-anteng saja. Meski angka kejahatan di Jakarta terus meningkat setiap tahunnya (Berdasarkan catatan Polda Metro Jaya, terjadi 3.000 kejahatan setiap bulan atau ratusan setiap hari terjadi di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya dikutip dari Harian Terbit). Banjir yang melanda setiap musim penghujan. Pejabat yang keluar masuk pengadilan. Meski begitu, pikiranku tentang Jakarta tetaplah sederhana : istimewa, seperti halnya Yogyakarta. Aku selalu rindu untuk sekedar bermain-main di kota ini lagi. Meski saat ini, aku selalu singgah untuk menunggu transit pesawatku
ketika akan pulang ke Bengkulu ataupun kembali ke Yogyakarta. Sungguh,
aku rindu ingin kembali ke Jakarta yang bukan hanya sekedar singgah
transit pesawat dan menunggu delay, tetapi juga berkeliling di sana. Kota yang dulu diam-diam pernah membuatku jatuh hati untuk pertama kali kupilih sebagai tempat mewujudkan cita-citaku, meski kini sudah sirna.
Akan tetapi, satu hal yang memang tidak pernah lepas dari Jakarta, meski
dulu aku tidak begitu menemuinya : macet. Bukan hanya kemacetan di
darat, tetapi juga di udaranya. Pernah sekali waktu, aku terjebak di
bandara hingga dua jam lamanya dan akhirnya aku baru tiba di Yogyakarta
sekitar pukul 9 malam yang harusnya di jadwal penerbangan jam 7 malam.
Lantas, apakah itu membuatku lupa akan kerinduan pada Jakarta? Tentu
tidak. Aku masih rindu ingin menjejali kakiku lagi di tanah ini, kawan.
Menghirup segala rupa keruwetan yang dihadirkannya. Aku masih ingin
sekali atau mungkin berkali-kali menikmati pesonanya terutama kesibukan
cahaya lampu malamnya yang semarak.
Aku mencintaimu dengan sederhana. Sesederhana semarak cahaya lampu di penghujung senja. Sesederhana hiruk pikuk yang perlahan ditelan kegelapan malam. Sesederhana lalu lalang kendaraan. Sesederhana debu-debu yang beterbangan. Sesederhana gedung-gedung yang tinggi menjulang. Sesederhana hujan yang membuat kebanjiran.
*Ditulis oleh Nesty Alisa
*Sumber foto : asramahajipondokgede.com
I can't believe you like Jakarta that much, Nest. -,-
BalasHapusHahaha, karena suka liat lampu2nya sih sbnarnya diy :3 klw siang2 biasa aja wkwk
BalasHapusgimana kalau udh liat mekkah yaa huhuu
masyaa Allah.
BalasHapusbtw Jogja kan juga ga kalah lampunya. :3
tapi ngga serame itu, masih tetep kalah jogja -_-
Hapus