“Uhh. Tega sekali gadis
itu merampas tidur siangku dengan paksa. Padahal baru saja aku bermimpi hampir
bertemu dia.” Gerutu Icha kesal.
Sari sudah berdiri di
depan pintu kamarnya beberapa detik yang lalu. Dia mengetuk pintu kamar Icha. Seperti
tergesa-gesa. Membuat Icha terkejut dan terpaksa membuka kedua matanya.
Dengan sempoyongan diraihnya
gagang pintu yang hanya berjarak dua meter dari tempat tidurnya di kamar yang
hanya berukuran 3 m x 3m itu.
“Aduh, maafkan aku
membangunkanmu.” Sari terlihat merasa bersalah.
“Ah, iya, tidak apa-apa.
Sudah seharusnya aku bangun kok.” Icha berusaha tersenyum dengan wajah yang tidak
karuan. Benar sekali. Sudah seharusnya Icha bangun. Lagipula, azan ashar sudah
lewat setengah jam yang lalu. Kalau Sari tidak membangunkannya, bisa-bisa
asharnya di ujung waktu. Dan juga, Icha harus ke kampus jam empat sore ini.
“Eh, iya. Aku masih ingin
pinjam bukumu yang kemarin. Ada yang harus ku foto.” Sari membuyarkan
lamunannya yang masih setengah terjaga.
“Iya, silahkan masuk.
Ambil aja, Sar, bukunya.” Icha bergegas keluar kamar untuk mencuci muka, lalu
berwudhu.
“Gimana? Sudah dapat
bukunya?” Tanya Icha ketika masuk.
“Belum, aku kemarin ambil
buku apa aja ya?” Sari terlihat bingung karena posisi buku yang kemarin dia
pinjam sudah berbeda.
“Sebentar, tadi aku memindahkannya.”
Beberapa saat kemudian,
“Ini, bukan?” Tanya Icha
sembari menyerahkannya kepada Sari.
“Iya, yang ini. Aku foto
dulu ya buku-bukunya.”
Akhirnya Sari memfoto
beberapa buku yang telah dipilihnya untuk tugas kampusnya.
“O, iya. Maaf banget ya, tadi malah jadi
membangunkanmu.”
“Iya, gapapa. Justru aku berterimakasih,
soalnya bentar lagi aku juga mau
keluar sih. Santai aja.” Jawab Icha
dengan tersenyum. Kali ini kekesalannya sudah tak bersisa.
“Oh gitu. Oke deh. Udah nih. Makasih ya.”
“Sipp.”
Sari berdiri dari tempat
duduknya dan bergegas meninggalkan kamar Icha.
Sementara Icha segera
menunaikan shalatnya yang tertunda.
-o0o-
Setengah jam berikutnya
Icha sudah berada di kampus. Kampus kali ini terlihat sepi dari hari biasanya.
Karena hari libur, tentunya. Sore ini, Icha dan teman-temannya sudah berjanji
untuk mengerjakan tugas bareng. Sudah
ada dua orang yang datang. Icha termasuk yang datang terlambat walau sudah
mengusahakan tidak terlambat. Lima belas menit mereka menunggu. Disusul tiga
temannya yang lain lima belas menit kemudian.
Sore itu, suasana
mendung. Udara lebih dingin dari biasanya. Ketika mereka sedang asiknya
mengerjakan tugas, tiba-tiba seseorang tampak menghampiri mereka. Awalnya, Icha
benar-benar tidak meyadarinya. Tahu-tahu, dia sudah berada di belakangnya. Dia
memang tidak melihat ke arah Icha karena dia tengah asik berdiskusi dengan
salah seorang teman Icha. Tapi, kenapa dia? Kau tahu kawan, dialah yang
akhir-akhir ini tanpa permisi mengusik mimpi-mimpi Icha. Bahkan hari ini, Icha
sudah dua kali bermimpi tentang dia. Walau tidak pernah bertemu secara langsung
dalam mimpi, akan tetapi sekarang dia benar-benar nyata. Di hadapan Icha. Icha kikuk.
Malu. Beruntung hanya dia yang tahu kalau kedua pipinya mulai merah merona.
Icha tertunduk lamat-lamat. Dan benar-benar hikmat dalam diam, hingga tak
berani lagi menoleh, bahkan tidak menyadari kalau dia sudah pergi beberapa saat
kemudian. Padahal Icha ingat, dua malam yang lalu, orang yang sama pula yang
mencabik-cabik hatinya karena rindu. Ah, ini gila. Benar-benar gila. Desah Icha
dalam diamnya. Dia masih susah payah menguasai hatinya yang baru saja
diledakkan bom atom secara tiba-tiba itu. Haha.
-o0o-
Sekelebat rindu menilisik di rerimbunan keresahan. Hadirkan keharuan yang biru. Mengharu biru karena rindu. Bulir-bulir kesunyian itu mengalir tanpa kejelasan alasan. Menyisakan isak tangis yang tertahan dalam diam. Kepedihan jiwa yang kini kian mencekam. Tidakkah kau lihat sang malam? Walau dalam kegelapan, tapi dia masih ditemani bintang-bintang dan rembulan. Tidakkah kau saksikan sang surya? Walau dia berdiri dengan megahnya di pagi hari, masih ada langit biru yang menjadi tempat baginya untuk menyandarkan diri.
Rasa itu hadir dalam senyap. Menyusup dalam kekaguman. Mencuri kesempatan dalam keterdiaman. Tanpa permisi. Tanpa mengetuk terlebih dahulu sang pintu hati. Sungguh tidak sopan. Tapi, bukankah seringkali dia hadir dikarenakan sang mata yang luput hingga sukarela untuk membuka gerbangnya? Bukankah dia hadir karena ketidakberdayaan telinga sehingga mengubah frekuensi suaranya menjadi senandung harmoni yang indah? Bukankah dia hadir dalam kelemahan insan yang tidak mampu meredam kerinduan akan seorang teman dalam perjalanan? Hai, itu bukan alasan yang pantas untuk kau utarakan, wahai jiwa. Jika rasa yang hadir itu tidak lebih besar dari cintamu padaNya, maka seiring berjalannya waktu, maka dia akan hilang terbawa arus perjalanan panjang kehidupan. Akan tetapi, karena kau terus saja memupuk rasa itu setiap harinya dengan curi pandang pada setiap kesempatan. Curi dengar walau dari kejauhan. Maka, tumbuhlah benih itu menjadi sebuah pohon yang kokoh dan akan sulit untuk ditumbangkan. Apalagi sang hujan yang turut menyirami. Apalagi tanah di sekitar turut menghadirkan kenyamanan. Akan tetapi, jangan pernah lupa wahai jiwa, rasa itu mengukir bahagia, tapi juga menawarkan kehampaan. Bahagia saat kau tahu keberadaannya. Hampa bila kau menemukan kenyataan bahwa belum ada hadirnya dalam kebersamaan. Hingga hanya akan jadi kesedihan yang takkan menemukan penyelesaian.
Di malam yang sunyi. Saat mata-mata telah terpejam. Rasa itu akan tetap membuatmu terjaga dalam kegelisahan. Bulir-bulir yang mengalir dalam ketulusan. Jika bukan karena ketundukan pada Sang Penguasa takdir kehidupan, niscaya bulir-bulir itu akan berubah menjadi banjir yang menenggelamkan. Jika bukan karena kesabaran dalam balutan ketaatan, maka tinggal menunggu waktu bulir-bulir itu akan menjadi hujan badai yang meruntuhkan pertahanan. Semua ini seperti bom waktu. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk diledakkan. Atau bahkan dapat meledak sewaktu-waktu meski tak pernah kau persiapkan. Sementara nafsu jiwa terus menggoda. Menggoda jiwa untuk menghancurkan benteng yang telah lama dibangun dengan kokoh. Menggoda jiwa untuk meluluhlantakkan tabir rasa malu. Sungguh dahsyat gelora semangat yang terus diiming-imingkan oleh nafsu jiwa. Sekali lagi, jika bukan karena kecintaan yang lebih besar kepada Sang Maha Cinta, maka semua akan runtuh. Benteng yang dibangun dengan cucuran darah dan air mata itu akan purna sudah dalam sekejap mata.
Itulah mengapa syair-syair pujangga terus menyuarakan penantian dalam kepedihan. Tak ada habisnya kepedihan dalam penantian. Kepedihan yang dapat membunuh jiwa secara perlahan. Kepedihan yang sewaktu-waktu menjadi belati yang akan merobek tabir rasa malu dengan paksa. Kepedihan yang terus membungkam jiwa hingga menunggu takdir Tuhan berbicara. Akan tetapi, bukan seperti itu seharusnya sang penanti sejati lakukan dalam menanti. Dia akan melakukan kebermanfaatan dalam penantian. Bukan hanya berdiam diri hingga terpojok dalam sepi, tetapi melakukan apa yang orang-orang katakan tentang sebuah pemantasan diri. Mengejar cita-cita cemerlang. Memanfaatkan gelora jiwa yang terus membara untuk meraih impian. Terus memupuk dengan tekun rasa yang hadir, bukan untuknya, tetapi untukNya. Hingga nanti cintaNya padamu akan menghadirkan dia yang juga cinta kepadaNya.
-o0o-
*Ditulis oleh Nesty Alisa
* sumber gambar : lemerg.com
Komentar
Posting Komentar