Mendung telah menutupi senja. Senja yang indah kini terlihat menyeramkan. Gemuruh suara petir telah terdengar sejak sore tadi. Mencekam. Tak lupa lampu listrik pun turut padam mendukung suasana. Hari seakan menangisi kepergianku sore itu.
"Haruskah sesulit ini kau lepaskan aku untuk pergi? Atau justru Dia merahmati kepergianku dengan menurunkan rizkinya di bumi berupa hujan senja ini?" Sekelebat tanya melingkupi pikiranku. Air mataku tak lagi keluar. Cukuplah hujan yang menggantikannya. Hatiku begitu gelisah,bercampur aduk rasa di dalamnya.
"Akankah tepat keputusanku? Bagaimana jika aku tidak kuat bertahan dalam rasa rindu?" Tanya dan lagi-lagi hanya tanya yang terlintas di benakku.
"Ayo,berangkat!" Suara ayah menyadarkan lamunanku.
Aku keluar dari kamar. Menyandang tas yang telah kuisi dengan mukena,baju ganti,tiket dan beberapa kebutuhan lain yang kurasa perlu. Kuraih tangan ibu. Kuciumi punggung tangannya. Kali ini terasa berbeda. Jauh sekali bedanya. Padahal setiap hari,setiap pagi,aku selalu menciumi tangan itu dengan satu asa mengharap ridhanya atau sekedar menjadi sebuah hobi baruku yang selalu ingin menggenggam tangannya yang tak lagi muda. Tangannya yang kini begitu banyak gurat-gurat letih kehidupan,tetapi senantiasa mampu mengangkat setiap kepedihan. Tangannya yang kini tak lagi mulus,tetapi selalu mampu melembutkan hati yang diserang kecamuk harapan yang tak terwujudkan.Tangan itu mampu menghapus setiap rupa-rupa kesedihan.
Akan tetapi,kali ini,tangan itu berbeda. Getar-getar bias yang kurasakan seakan menjadi penanda begitu berat baginya melepaskan. Tapi aku tahu pasti,dengan tangannya itulah yang selalu dia angkat dalam setiap doa yang dipanjatkan agar angan dan citaku terkabulkan.
"Ibu,doakan aku." Tak ada banyak kata yang mampu kuucapkan. Aku takut butir-butir kesedihan itu terlihat olehnya. Andai kau tahu,aku pun berat untuk jauh darimu. Entah bagaimana jadinya,bila nanti aku tak mendengar suaramu setiap pagi untuk membangunkanku yang begitu "bandel" ini. Entah seperti apa rasanya,bila tak kudengar amarahmu saat aku terlambat untuk makan. Entahlah Ibu. Doakan aku kuat untuk berjuang dan bertahan.
Setelah itu,kuraih tangan adik-adikku yang begitu manis. Meski aku sering membuatmu kesal ataupun sebaliknya,meski kita tidak jarang yang namanya "berantem",tetap saja,menjauh darimu akan menambah pedihnya kesunyian dalam hatiku. Jadi anak yang baik ya,semangat sekolahnya,susul aku segera :D
Ayah sudah menunggu di atas motor. Begitu banyak barang bawaan. Koper dan sebuah kardus berisi buku-buku. Akan tetapi,hujan belum jua menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Harusnya kami meminta travelnya saja yang menjemput,tetapi ayah memilih untuk langsung mengantarkanku. Jaraknya tidak terlalu jauh,sekitar 20 menit dari rumah.Akan tetapi,hujan telah merenggut waktu menjadi sebuah ketidakpastian sampai di tujuan. Berkali-kali kami diharuskan berhenti di tengah jalan karena hujan yang tiba-tiba turun dengan deras.
"Mengapa harus kuliah jauh-jauh,nak?Kalau kamu di Padang,ayah bisa mengunjungimu kapan pun yang ayah mau dengan motor ayah. Kalau kamu jauh,belum tentu ayah bisa mengunjungimu. Ayah kan tidak kuat naik mobil sejauh itu."
Aku terdiam di belakang. Tak sepatah kata pun aku mampu menjawabnya.
Akhirnya,tibalah kami di tempat berkumpul untuk menunggu travel. Lumayan lama. Ketika mobilnya tiba,aku segera mencium punggung tangan ayah dan memeluknya.
"Aku hanya ingin ayah bangga padaku. Tak peduli rasa sakit ataupun pedih,aku akan terus berjuang menjadi putri ayah yang dapat membuatmu selalu bahagia." Begitu batinku.
Rintik hujan menjadi saksi janjiku malam itu.di hatiku.
"Haruskah sesulit ini kau lepaskan aku untuk pergi? Atau justru Dia merahmati kepergianku dengan menurunkan rizkinya di bumi berupa hujan senja ini?" Sekelebat tanya melingkupi pikiranku. Air mataku tak lagi keluar. Cukuplah hujan yang menggantikannya. Hatiku begitu gelisah,bercampur aduk rasa di dalamnya.
"Akankah tepat keputusanku? Bagaimana jika aku tidak kuat bertahan dalam rasa rindu?" Tanya dan lagi-lagi hanya tanya yang terlintas di benakku.
"Ayo,berangkat!" Suara ayah menyadarkan lamunanku.
Aku keluar dari kamar. Menyandang tas yang telah kuisi dengan mukena,baju ganti,tiket dan beberapa kebutuhan lain yang kurasa perlu. Kuraih tangan ibu. Kuciumi punggung tangannya. Kali ini terasa berbeda. Jauh sekali bedanya. Padahal setiap hari,setiap pagi,aku selalu menciumi tangan itu dengan satu asa mengharap ridhanya atau sekedar menjadi sebuah hobi baruku yang selalu ingin menggenggam tangannya yang tak lagi muda. Tangannya yang kini begitu banyak gurat-gurat letih kehidupan,tetapi senantiasa mampu mengangkat setiap kepedihan. Tangannya yang kini tak lagi mulus,tetapi selalu mampu melembutkan hati yang diserang kecamuk harapan yang tak terwujudkan.Tangan itu mampu menghapus setiap rupa-rupa kesedihan.
Akan tetapi,kali ini,tangan itu berbeda. Getar-getar bias yang kurasakan seakan menjadi penanda begitu berat baginya melepaskan. Tapi aku tahu pasti,dengan tangannya itulah yang selalu dia angkat dalam setiap doa yang dipanjatkan agar angan dan citaku terkabulkan.
"Ibu,doakan aku." Tak ada banyak kata yang mampu kuucapkan. Aku takut butir-butir kesedihan itu terlihat olehnya. Andai kau tahu,aku pun berat untuk jauh darimu. Entah bagaimana jadinya,bila nanti aku tak mendengar suaramu setiap pagi untuk membangunkanku yang begitu "bandel" ini. Entah seperti apa rasanya,bila tak kudengar amarahmu saat aku terlambat untuk makan. Entahlah Ibu. Doakan aku kuat untuk berjuang dan bertahan.
Setelah itu,kuraih tangan adik-adikku yang begitu manis. Meski aku sering membuatmu kesal ataupun sebaliknya,meski kita tidak jarang yang namanya "berantem",tetap saja,menjauh darimu akan menambah pedihnya kesunyian dalam hatiku. Jadi anak yang baik ya,semangat sekolahnya,susul aku segera :D
Ayah sudah menunggu di atas motor. Begitu banyak barang bawaan. Koper dan sebuah kardus berisi buku-buku. Akan tetapi,hujan belum jua menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Harusnya kami meminta travelnya saja yang menjemput,tetapi ayah memilih untuk langsung mengantarkanku. Jaraknya tidak terlalu jauh,sekitar 20 menit dari rumah.Akan tetapi,hujan telah merenggut waktu menjadi sebuah ketidakpastian sampai di tujuan. Berkali-kali kami diharuskan berhenti di tengah jalan karena hujan yang tiba-tiba turun dengan deras.
"Mengapa harus kuliah jauh-jauh,nak?Kalau kamu di Padang,ayah bisa mengunjungimu kapan pun yang ayah mau dengan motor ayah. Kalau kamu jauh,belum tentu ayah bisa mengunjungimu. Ayah kan tidak kuat naik mobil sejauh itu."
Aku terdiam di belakang. Tak sepatah kata pun aku mampu menjawabnya.
Akhirnya,tibalah kami di tempat berkumpul untuk menunggu travel. Lumayan lama. Ketika mobilnya tiba,aku segera mencium punggung tangan ayah dan memeluknya.
"Aku hanya ingin ayah bangga padaku. Tak peduli rasa sakit ataupun pedih,aku akan terus berjuang menjadi putri ayah yang dapat membuatmu selalu bahagia." Begitu batinku.
Rintik hujan menjadi saksi janjiku malam itu.di hatiku.
Komentar
Posting Komentar