Di sore itu,di sudut taman kota,kita bertemu.Tidak hanya berdua. Kita tengah menunggu yang lainnya.Sebenarnya, kita sudah lama bertemu sebelumnya. Akan tetapi, mengenalmu adalah hal yang baru bagiku. Kita baru saja berkenalan seminggu yang lalu karena satu hal yang memang sudah ditakdirkan. Mau tidak mau,beberapa hari terakhir aku harus menjalin komunikasi denganmu. Tidak ada yang istimewa. Aku bukan orang yang mudah terpesona pada pandangan pertama. Meski Aku mempercayai adanya jatuh cinta pada pandangan pertama,tetapi kali ini aku berani taruhan bahwa aku tak mengalaminya.Bahkan,aku mungkin memang belum pernah mengalaminya.
Kita bertemu. Ada yang lain juga. Bukan hanya kita. Kau memulainya dengan salam santunmu. Kau memang pemimpin kelompok ini. Akan tetapi,melihatmu berbicara di dalam forum seperti ini adalah hal kedua yang baru bagiku. Begitu mudah kau membawa suasana menjadi hikmat
. Lihat,semua mata tertuju padamu. Sesekali mereka tersenyum penuh harapan oleh kata-katamu. Begitupun aku. Di sudut lain yang tak kau perhatikan.
Anggunnya pesonamu mengalahkan keanggunan mentari di sore ini. Mentari seakan cemburu padamu melihat mereka yang begitu serius memperhatikanmu. Gaya gravitasi itu kini telah beralih pusatnya. Bahkan,aku baru sadar ternyata kau adalah orang yang cukup manis ketika tersenyum. Sorot matamu begitu tajam namun menawan. Aku mengangguk penuh takzim ketika pesan-pesan itu meluncur dari bibirmu. Seakan pesan itu hanya khusus dibuat untukku,bukan mereka. Aku diam tak bergeming mengagumi setiap jejak keindahan yang kau ciptakan. Entah itu teduhnya tatapan matamu atau tawa kecilmu yang tidak dibuat-buat untuk sekedar mencairkan suasana. Semua apa adanya.Sesekali kerlingan mata itu tertuju juga padaku. Lekas saja ku buang mukaku agar aku tak tertangkap sedang memerhatikanmu. Akan tetapi,hal itu menimbulkan dilema : membiarkan tertahan dalam kebisuan atau tertahan dalam luka. Membuang muka berarti bersiap untuk tertahan dalam luka karena dengannya aku takkan bisa menyaksikan kau menatapku walau untuk sepersekian detik. Padahal,itulah kesempatanku untuk menatap mata indah itu. Akan tetapi,sampai saat ini,aku tak pernah berani untuk melakukannya. Sungguh dilema.
Sang surya telah sampai di batas cakrawala. Cahaya senja mulai menyeruak masuk ke sela-sela dedaunan. Hal ini menjadikanku bertambah dilema : menikmati pesona senja atau senyummu. Aku semakin terdiam. Bungkam untuk mengungkapkan sekedar kata. Begitu sempurna dia tercipta. Bersama pesona senja yang menjadikannya bersahaja.
Sesekali tatap mata beradu temu. Senyum kebekuan menghiasinya. Aku merunduk malu. Mulutku membisu. Lidahku seketika kaku. Aku lupa. Lupa cara bicara. Aku bahkan terbata untuk sekedar menyebut nama. Terlanjur terlena. Mungkin senja telah mengutukku. Ia marah karena aku tak memperhatikannya seperti hari-hari sebelumnya. Diambilnya rangkaian kata yang biasanya selalu kurangkai untuknya. Hingga aku setengah mati mengingat kata yang sudah kusiapkan jauh sebelum aku bertemu denganmu. Agaknya,senja sudah tahu gelagatku. Senja cemburu karena kau telah merebutku darinya. Jadi, maafkan aku, jika di senja itu aku kehilangan kata-kataku. Maafkan aku, yang mungkin hingga saat ini senja belum juga mengembalikannya. Sepertinya dia masih marah padaku. Senyummu terlalu mempesona,katanya. Aku hanya diizinkannya untuk mengungkapkan lewat baris aksara untukmu. Sekali lagi, maafkan aku.
Senja kian memerah. Kali ini dia telah benar-benar marah padaku . Aku takut,tapi sekaligus takjub. Hingga bukan hanya mulutku saja yang terkunci,tapi detak jantungku berirama memecah sunyi. Aku menyerah. Pasrah. Kau berhasil menawanku di senja ini.
September 2015
Kita bertemu. Ada yang lain juga. Bukan hanya kita. Kau memulainya dengan salam santunmu. Kau memang pemimpin kelompok ini. Akan tetapi,melihatmu berbicara di dalam forum seperti ini adalah hal kedua yang baru bagiku. Begitu mudah kau membawa suasana menjadi hikmat
. Lihat,semua mata tertuju padamu. Sesekali mereka tersenyum penuh harapan oleh kata-katamu. Begitupun aku. Di sudut lain yang tak kau perhatikan.
Anggunnya pesonamu mengalahkan keanggunan mentari di sore ini. Mentari seakan cemburu padamu melihat mereka yang begitu serius memperhatikanmu. Gaya gravitasi itu kini telah beralih pusatnya. Bahkan,aku baru sadar ternyata kau adalah orang yang cukup manis ketika tersenyum. Sorot matamu begitu tajam namun menawan. Aku mengangguk penuh takzim ketika pesan-pesan itu meluncur dari bibirmu. Seakan pesan itu hanya khusus dibuat untukku,bukan mereka. Aku diam tak bergeming mengagumi setiap jejak keindahan yang kau ciptakan. Entah itu teduhnya tatapan matamu atau tawa kecilmu yang tidak dibuat-buat untuk sekedar mencairkan suasana. Semua apa adanya.Sesekali kerlingan mata itu tertuju juga padaku. Lekas saja ku buang mukaku agar aku tak tertangkap sedang memerhatikanmu. Akan tetapi,hal itu menimbulkan dilema : membiarkan tertahan dalam kebisuan atau tertahan dalam luka. Membuang muka berarti bersiap untuk tertahan dalam luka karena dengannya aku takkan bisa menyaksikan kau menatapku walau untuk sepersekian detik. Padahal,itulah kesempatanku untuk menatap mata indah itu. Akan tetapi,sampai saat ini,aku tak pernah berani untuk melakukannya. Sungguh dilema.
Sang surya telah sampai di batas cakrawala. Cahaya senja mulai menyeruak masuk ke sela-sela dedaunan. Hal ini menjadikanku bertambah dilema : menikmati pesona senja atau senyummu. Aku semakin terdiam. Bungkam untuk mengungkapkan sekedar kata. Begitu sempurna dia tercipta. Bersama pesona senja yang menjadikannya bersahaja.
Sesekali tatap mata beradu temu. Senyum kebekuan menghiasinya. Aku merunduk malu. Mulutku membisu. Lidahku seketika kaku. Aku lupa. Lupa cara bicara. Aku bahkan terbata untuk sekedar menyebut nama. Terlanjur terlena. Mungkin senja telah mengutukku. Ia marah karena aku tak memperhatikannya seperti hari-hari sebelumnya. Diambilnya rangkaian kata yang biasanya selalu kurangkai untuknya. Hingga aku setengah mati mengingat kata yang sudah kusiapkan jauh sebelum aku bertemu denganmu. Agaknya,senja sudah tahu gelagatku. Senja cemburu karena kau telah merebutku darinya. Jadi, maafkan aku, jika di senja itu aku kehilangan kata-kataku. Maafkan aku, yang mungkin hingga saat ini senja belum juga mengembalikannya. Sepertinya dia masih marah padaku. Senyummu terlalu mempesona,katanya. Aku hanya diizinkannya untuk mengungkapkan lewat baris aksara untukmu. Sekali lagi, maafkan aku.
Senja kian memerah. Kali ini dia telah benar-benar marah padaku . Aku takut,tapi sekaligus takjub. Hingga bukan hanya mulutku saja yang terkunci,tapi detak jantungku berirama memecah sunyi. Aku menyerah. Pasrah. Kau berhasil menawanku di senja ini.
September 2015
Komentar
Posting Komentar